Labbayk-Allhumma labbayk. Labbayka la shareeka laka labbayk. Innal-hamda wan-ni mata laka wal-mulk. La shareeka lak.
(I respond [in obedience] to You, o Allah, I respond. I respond – no partner is there to You I respond. All praise and favor is Yours, and sovereignty. There is no partner to You). Wahai Allah kami datang memenuhi panggilanMu. Tiadalah sekutu untukMu segala Puji dan Kuasa untukMu. Kalimat yang membuat merinding bila kita ucapkan dengan setulus kalbu. Aku datang ya Allah.. aku penuhi panggilanMu dengan penuh ketaatan… Subhanallah.. Siapa sih Muslim yang tidak punya cita-cita untuk bisa menunaikan rukun Islam ke-5 ini? Rasanya, hampir semua Muslim pasti mendambakan bisa melengkapkan rukun Islamnya. Namanya juga rukun, tiang, jadi yaa memang cukup penting demi mengokohkan tegaknya bagunan keislaman diri kita. Memang ini rukun ke-5, artinya kita sudah punya 4 tiang lainnya yang membuat kokoh bangunan keislaman kita, sehingga tiang ke-5 ini merupakan tiang pelengkap yang memperindah dan memperkokoh saja layaknya.
Dan alhamdulillah, cita-cita menunaikan rukun Islam ke-5 ini akhirnya terlaksana juga tahun ini. Kami berangkat dari negara yang baru beberapa bulan saja kami tinggali, Kuwait. Kalau menunggu berangkat haji dari Tanah Air, entah kapan akan terlaksana, karena yang daftar sejak tahun 2010 pun belum juga berangkat. Lebih-lebih lagi, yang betul-betul sangat kusyukuri, adalah kesempatan bisa berangkat berhaji dengan membawa anak-anak. Betul-betul suatu karunia yang sangat besar bagi kami. Subhanallah.. maka nikmatKu mana lagi yang kau abaikan? Ternyata bukan kami saja yang berangkat haji bersama anak-anak. Dalam satu rombongan kami, ada beberapa pasangan orang tua yang juga membawa anak mereka. Malah ada yang membawa 5 anak mereka (yang terbesar 9 tahun dan yang terkecil 9 bulan). Kalau kami sih yaa alhamdulillah, karena anak-anak sudah mengerti, jadi mereka bisa diajak bicara dan mereka paham, jadi lebih enak.
Tapi kalau membawa anak-anak yang masih kecil (balita/bayi), betul-betul ujian tersendiri bagi si orang tua. Apalagi selama dalam keadaan ihrom kan betul-betul harus menjaga niat, tidak boleh bersitegang, tidak boleh berbantah-bantahan, tidak boleh marah dsb. Sementara, namanya anak-anak, yaa tetap saja anak-anak dengan segala kepolosan mereka. Sejak awal, sejak sebelum berangkat kami sudah tegaskan berkali-kali pada anak-anak, jangan susah disuruh, karena kalau sampai ayah atau ibu marah, kita mesti nyembelih kambing buat hukumannya. Tapi alhamdulillah, selama berhaji, anak-anak sangat sholeh, yang biasanya sedikit-sedikit berebut atau ribut, selama berhaji mereka begitu anteng dan menikmati ibadah mereka.
Masya Allah. Selain uji kesabaran, berhaji dengan membawa anak-anak juga menyuguhkan ujian atas sucinya niat berhaji kita. Hampir semua jama’ah haji sangat senang anak-anak. Tidak sedikit jama’ah haji yang mengusap-usap kepala anak-anak, bahkan sampai menciumi anak-anak. Banyak juga yang berkomentar “masya Allah”, “subhanallah”, atau “great kids”. Bagiku, ungkapan-ungkapan itu biasanya refleks ku ucapkan istigfar.. aku tidak mau tergelincir menjadi sombong hanya karena pergi berhaji dengan membawa anak-anak. Allahumma hadzihi laa riya’a fiihaa wa laa sum’ah (Ya Allah, ini adalah haji yang tidak mengandung unsur riya dan sum’ah). Ini doa yang selalu aku baca-baca saat menghadapi ujian-ujian seperti ini. Melontar jumroh Beribadah haji dengan membawa anak-anak juga mesti memperhatikan situasi, terutama saat menjalankan ibadah melontar jumroh dan tawaf serta sa’i. Orang tua mesti betul-betul hafal kondisi anak, dan mampu memfasilitasi anak agar mereka tidak merasa berat menjalankan ibadah, terutama ibadah melontar jumroh, tawaf, dan sai. Meskipun, kami sendiri pada akhirnya tidak mengizinkan anak-anak ikut berangkat melontar jumroh di hari terakhir. Jadi, anak-anak cuma ikut merasakan melontar jumroh di hari pertama (7 lemparan), dan di hari kedua (21 lemparan).
Itupun, saat melempar di hari pertama, anak-anak tidak punya kesempatan untuk melempar sendiri, karena kami serasa “diserbu” gerombolan orang berbadan besar. Tapi kami masih bersyukur karena ada satu askar yang melindungi aku dan anak-anak. Waktu melempar di hari kedua, untuk di small jamarat, anak-anak malah dituntun oleh askar ke tempat aman (dan dilindungi oleh mereka), sehingga anak-anak bisa leluasa melempar jumroh mereka sendiri sampai 7 kali. Tapi di medium jamarat dan big jamarat, anak-anak tidak punya kesempatan itu. Di hari ketiga, kami larang anak-anak ikut berangkat ke jamarat.
https://www.youtube.com/watch?v=msu6w7aZbnM&feature=youtu.be
Ternyata betul saja, di hari ketiga melempar jumroh, perjuangannya lebih berat. Apalagi banyak jalan ditutup sehingga kita harus mencari jalan alternatif yang cukup berputar. Tawaf dan sa’i Saat melakukan tawaf dan sai, juga harus diperhatikan kondisi anak-anak dan situasi di lokasi. Dari tiga kali tawaf yang kami lakukan selama di Haram, alhamdulillah kami selalu mendapat tempat tawaf di pelataran yang dekat dengan Ka’bah. Mungkin itu erat kaitannya dengan pilihan waktu tawaf yang kami lakukan. Tawaf umroh yang pertama kali kami lakukan pada tanggal 7 Dzulhijjah ba’da Dhuha.
Malah kami bisa membawa anak-anak sampai mendekati bangunan ka’bah dan maqam Ibrahim. Saat tawaf ifadhah, kami berkesempatan tawaf di dini hari, sehingga kami juga bisa leluasa tawaf di pelataran ka’bah. Anak-anak senang sekali bisa tawaf di pelataran ka’bah. Selain karena putarannya lebih singkat, juga karena bisa leluasa melihat ka’bah dari dekat. Tapi saat tawaf wada tanggal 13 Dzulhijjah ba’da Dhuha, kami mencoba putaran pertama di pelataran yang sesak, yang ada kami saja merasa sesak nafas, apalagi anak-anak.
Jadi kami coba untuk keluar dari area pelataran, itu pun susah payah. Aku dibantu seorbang ibu Pakistan membawa si dede keluar area pelataran, dan terpisah dengan si ayah dan si kaka. Akhirnya kami berkumpul kembali di lantai dasar mesjid. Kami tawaf di dalam mesjid, masih di lantai dasar. Memang putarannya lebih panjang, tapi lebih aman. Dengan alasan lama karena putarannya lebih panjang inilah, saat putaran ketiga, si dede mulai ngambek minta tawaf di pelataran ka’bah saja. Di salah satu sudut mesjid, saat kami melewati 1 putaran, kami melihat petugas membaringkan satu jenazah.. Innalillaahi wa inna illaaihi raajiun.
Kemudian saat kami kembali lagi di putaran kedua, jenazah yang dibaringkan sudah ada tiga. Saat kami kembali lagi di putaran ke tiga, jenazah sudah ada tujuh [Dan setelah sholat dhuhur, saat ada shalat jenazah, diumumkan ada 11 jenazah yg disholatkan]. Melihat sendiri barisan jenazah yang dibaringkan di salah satu sudut mesjid, sudah bisa menghentikan ngambeknya si dede yang keukeuh pengen bisa tawaf di pelataran ka’bah. Lima putaran tawaf kami lakukan di dalam mesjid, saat putara ke-6 sudah mendekati waktu sholat, sehingga tempat tawaf sudah banyak dikapling orang yang bersiap untuk shalat.
Sehingga kami malah terdorong melanjutkan tawaf di area pelataran ka’bah. Subhanallah, ternyata malah kami dikasih kesempatan untuk bisa menyelesaikan tawaf di pelataran ka’bah. Masya Allah! Ya sudah, kami selesaikan tawaf wada kami. Begitu kami selesai sholat sunat 2 rakaat, adzan dhuhur berkumandang, sehingga kami berkesempatan shalat masih di pelataran Ka’bah. Saat terakhir kami di Ka’bah, kami bisa leluasa mengadu pada Allah, berdoa sebanyak-banyaknya, dan memandang ka’bah dengan leluasa.
Semoga diberi kesempatan untuk bisa mengunjungi ka’bah lagi suatu saat nanti, Insya Allah. Anak-anak? Alhamdulillah, ternyata mereka sangat menikmati perjalanan haji mereka. Baru juga dua hari sampai di rumah kami di Kuwait, anak-anak sudah minta lagi berangkat ke Makkah, pengen sholat lagi di depan ka’bah katanya. Insya Allah ya nak, kalau sudah besar, cari uang sendiri dan berangkatlah sendiri. Insya Allah! Firsty Husbani Rayyan Ziya (10 tahun) Anargya Raakan (11 tahun)
Read more : https://www.youtube.com/watch?v=HoqtmsUHkos&feature=youtu.be
Indahnya Berhaji Bersama Anak-anak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar