Senin, 22 Desember 2014

Menangis Haru di Depan Ka’bah

Pada bagian pertama (‘Haji, Sebuah Perjalanan Penuh Air Mata’) sudah diceritakan pengalamanku saat ziarah ke masjid Nabi dan sholat tahajud di taman syurga Roudhah yang penuh dengan linangan air mata haru. Pada kesempatan kedua ini akan diceritakan perihal pengalamanku saat pertama kali melihat Ka’bah dan melakukan thawaf mengelilinginya, yakni saat musim haji tahun 2009. Pada tahun 2009 tersebut kebetulan aku tergabung dalam kloter ke-6 embarkasi Juanda Surabaya.


Setelah tinggal sembilan hari di kota Madinah untuk mengikuti ibadah sholat arba’in, maka rombonganku melanjutkan perjalanan menuju kota Makkah Al Mukaromah. Sebelum berangkat menuju kota Makkah kami beserta rombongan sudah mengenakan pakaian ihrom dan kami mengambil miqot di Masjid Bir Ali.


Sepanjang perjalanan bibirku tiada henti melantunkan kalimat talbiyah secara bersamaan dengan rombangan dalam bus. Hawa panas dari gurun pasir di siang hari yang tidak mampu diusir dengan sempurna oleh AC dari bus tidak begitu kami hiraukan. Pikiranku terbang jauh, menerawang ke empat belas abad silam. Teringat akan sejarah Rosulullah yang tiada kenal lelah mensyiarkan Islam sehingga bisa dipeluk oleh milyaran orang seperti saat ini. Perjuangan nabi tentunya tidak ringan dan tentunya penuh rintangan onak dan duri serta cacian makian dari para kaum kafir.


Sehingga beliau berhijrah dari kota Makkah ke kota Madinah. Yang tentunya perjalanan hijrah tersebut sangat penuh resiko dan mara bahaya. Tiada terasa lelehan air mataku membasahi pipiku teringat perjuangan nabi yang sangat berat tersebut. Apalagi perasaan rindu akan panggilan Allah untuk menziarahi Bait-Nya benar-benar membuncah. Sehingga menambah sesak dadaku dan semakin deras lelehan air hangat dari mataku sepanjang perjalanan dari Madinah sampai Makah Al Mukaromah.


Ingin rasanya segera cepat-cepat sampai di kota Makah dan segera bisa sholat di depan Ka’bah. Sampai di Makkah Sesampainya di kota Makkah, senja baru saja menyelimuti langit kota Makkah dan sebentar lagi waktu isya’ segera tiba, namun hawa panas gurun masih terasa. Setelah kami sampai maktab dan mengurus pembagian kamar serta mengurus barang bawaan. Kami secara rombongan menujulah ke Masjidil Haram untuk melakukan ibadah umroh wajib, yakni thawaf, sa’i dan kemudian tahalul.


Hati terus berdegup kencang, bagaikan hati seorang remaja yang sedang kasmaran yang akan bertemu dengan pujaan hatinya. Kami menuju Masjidil Haram dengan menumpang bus dan setelah sampai di Masjidil Haram kami dibriefing sekali lagi oleh seorang ustadz pembimbing kami, tentang tata cara ibadah thawaf dan tentu juga mengingatkan perihal bacaan do’a saat melihat ka’bah. Debaran di hatiku bertambah kencang saat kakiku kulangkahkan memasuki Masjidil Haram meliwati pintu Bab Babusalam.
https://www.google.com/?gws_rd=ssl#q=http://www.gamalama-travel.com


Begitu memasuki masjid dan mataku menatap bangunan kubus yang terbungkus kain hitam, pertama yang meluncur dari mulutku adalah bacaan tasbih, Subhanallah! Dengan perasaan haru yang sangat dan lelehan air mata kemudian kupanjatkan do’a saat melihat Baitullah, yakni: “Allaahumma zid haadzalbaita tasyriifan wa ta’zhiiman wa takriiman wa mahaabatan wazid mansyarrafahu wa karramahu mimman hajjahu awi’tamarahu tasyriifan wa ta’zhiiman wa takriiman wa birraa” (Ya Allah, tambahkanlah kemuliaan, kehormatan, keagungan dan kehebatan pada Baitullah ini, dan tambahkanlah pula pada orang-orang yang memuliakan, menghormati dan mengagungkannya di antara mereka yang berhaji atau yang ber-umrah padanya dengan kemuliaan, kebesaran, kehormatan dan kebaikan).


Perasaan haru, lelehan air mata di pipiku, rasa sesak di dada, rasa bersalah karena gelimangan dosa dan juga rasa sangat kecil di hadapan Ilahi benar-benar terus menyelimuti hatiku saat itu. Tiada Tuhan kecuali Allah dan Allah Maha Besar. Hambamu ini sangat kecil dan sangat tidak berarti apa-apa. Baitullah begitu berwibawa berada di tengah- tengah Masjidil Haram yang selalu dikelilingi oleh ratusan, ribuan bahkan puluhan ribu jama’ah yang sedang thawaf mengikuti perintah-Nya.


Dengan terus memandang Baitullah dan air mata yang terus deras mengalir. Kumulailah thawaf umroh wajib, dari batas arah rukun hajar aswad di kiri sisiku dan lampu neon hijau di sisi kananku, kuucapkan niat dalam hati untuk mulai thawaf, Bismillah Allahu Akbar. Dengan terus membaca talbiah diselingi membaca rangkaian do’a thawaf sesuai panduan dari Kementerian Agama kami terus melakukan thawaf berputar dengan arah berlawanan putaran jarum jam memutari Ka’bah Baitullah.


Perasaanku campur aduk antara haru, kecil tak berarti apa-apa, berdosa karena gelimangan dosa-dosa dan pengharapan ampunan dan maghfiroh dari NYA terus menyelimuti hatiku. Satu kali, dua kali dan tiga kali putaran, air mata terus meleleh dan membasahi pipiku. Dengan terus melantunkan talbiyah, tasbih, tahmid dan tahlil kuterus menerus memohon dalam hati ampunan dari Nya. Dan bahkan lelehen air mata semakin tak bisa terbendung saat putaran kelima sampai ketujuh saat kuberhasil menyentuh Rukun Yamani dari Ka’bah sebagaimana disunahkan oleh Rosulullah.


Setelah mengelilingi Baitullah untuk thawaf selesai, kemudian kutunaikan sholat sunah dua raka’at di arah belakang Maqam Ibrahim. Dalam sholat tersebut rasanya aku begitu dekat dengan Allah sepanjang sholat. Baca’an demi baca’an sholat sebisa mungkin kulafalkan dengan fasih dan kuhayati artinya. Semakin menjadi-jadilah linangan air mataku meleleh di pipi. Dan bahkan air mataku membasahi laintai tempat aku sujud. Praktis sepanjang sholat saya menangis terus dengan lelehan air mata yang tiada henti. Rasanya baru kali ini aku menangis dalam sholat sampai separah ini. Subhanallah, duh sungguh benar-benar nikmat rasanya! Ahmad Mustofa Jamaah Haji 2009


Read more : http://ladies-homejournal.blogspot.com



Menangis Haru di Depan Ka’bah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar